Aku masih ingat pertama kali main ke dunia desain. Waktu itu, aku kira yang penting itu gambar yang keren. Tapi ternyata, ada satu hal kecil yang diam-diam punya kuasa besar: huruf. Ya, huruf. Dan sejak saat itu, aku mulai belajar memahami dasar tipografi—sebuah perjalanan sunyi yang justru bikin desainku bersuara.
Tipografi bukan cuma soal pilih font yang cantik, lalu selesai. Nggak semudah itu. Setiap huruf punya sikap. Ada yang tenang dan elegan, ada juga yang teriak-teriak minta perhatian. Kita harus tahu kapan mereka bicara, dan kapan harus diam.
Mulailah dari dasar. Pahami jenis font: serif, sans-serif, script. Masing-masing punya karakter. Serif itu kayak bapak-bapak bijak yang klasik, sans-serif itu anak muda yang simple dan rapi. Script? Ah, dia itu yang romantis dan agak dramatis.
Lalu masuk ke bagian teknis: ukuran huruf, spasi antar huruf (kerning), dan spasi antar baris (leading). Jangan remehkan. Teks yang terlalu rapat itu kayak orang lagi ngomel—bikin capek. Tapi kalau terlalu renggang? Kesannya jadi malas. Nah, seni tipografi itu di situ: menjaga napas tulisan tetap teratur.
Buatku, memahami dasar tipografi itu seperti belajar mendengar suara dari sesuatu yang diam. Diam-diam ia mengatur emosi, membentuk kesan, dan membawa pesan. Dan ketika kau mulai bisa membaca “suara” huruf, saat itulah kau benar-benar sedang mendesain.