Jangan pernah remehkan malam minggu anak-anak Pramuka, apalagi kalau kamu sedang jadi calon anggota baru. Karena malam itu… bukan malam biasa. Kami para senior sudah merancang skenario khusus untuk menguji mental para adik-adik anggota Pramuka Ambalan Awang Long – Aminah Syukur Pramuka SMAN 1 Balikpapan sampai ke akar bulu kuduk.
Tahun itu sekitar 1994-an, Kota Balikpapan masih lengang kalau malam. Jalanan sepi (tidak macet seperti sekarang), cahaya lampu jalan remang-remang, dan suasana mistis masih terasa kental di beberapa tempat. Termasuk satu lokasi yang kami pilih untuk kegiatan jurit malam ini. Ya… Kuburan Muslimin Prapatan.
Iya, kamu nggak salah baca. Kuburan. Tempat peristirahatan terakhir itu kami jadikan titik awal kisah seram jurit malam untuk adik-adik anggota baru.
Entah siapa yang memulai tradisi ini. Tapi kami para anggota pramuka ambalan ini, menjadikan tradisi menerima tamu ambalan di Kuburan Muslimin Prapatan sebagai titik awal berkumpul mengikuti rangkaian tradisi ini. Gen-Z dan Gen Alpa mungkin tidak ada yang kuat mengikuti tradisi “aneh” ini. Tapi kami para Gen-X menjadikan Tradisi jurit malam ini sebagai tradisi untuk menguji keberanian, mental dan kekompakan kami.
Titik Kumpul yang Bikin Keringat Dingin
Sabtu malam setelah Isya mereka mulai berjalan dari titik terdekat dari pintu gerbang Kuburan Muslimin Prapatan. Mereka wajib berjalan kaki dari titik tersebut untuk menuju gerbang kuburan. Tidak ada yang boleh diantar atau naik kendaraan sampai gerbang.
Sesampainya di depan gerbang makam, wajah-wajah calon anggota baru Ambalan Awang Long – Aminah Syukur Pramuka SMAN 1 Balikpapan kelihatan tegang. Ada yang celingak-celinguk, ada yang pura-pura tenang. Tapi kami tahu, mereka semua gelisah.
“Siapkan mental kalian. Malam ini kalian akan melaksanakan tradisi ambalan kita. Ini bukan cuma soal nyali, tapi juga soal kejujuran, keberanian, kekompakan, dan… rasa hormat pada yang tak kelihatan,” ucap saya kepada mereka.
Suasana jadi makin syahdu (seram) ketika langit mulai gelap. bulan mulai tertutup awan. Dan kami mulai membagi kelompok. Satu per satu kelompok ditemani oleh satu orang senior masuk ke area kuburan.
Renungan Duduk di Samping Kuburan Baru dan Hanya Ditemani Lilin
Sesampainya di titik yang telah ditentukan, para senior mempersilakan para juniornya untuk duduk berpencar dan meninggalkan para junior, tapi tetap terpantau dalam pengawasan para senior. Tugas pertama mereka tidak macam-macam. Hanya duduk. Tapi bukan sembarang duduk. Mereka harus duduk sambil membaca buku renungan dengan penerangan sebatang lilin, di samping mereka adalah sebuah kuburan. Bahkan ada yang kebagian kuburan baru.
Bayangkan anak baru, duduk sendirian di atas tanah kuburan yang baru saja ditutup dan masih lembab serta masih tercium aroma bunga setaman yang masih segar berada di atas pusara, lalu membaca:
“Aku datang ke dunia tak membawa apa-apa… dan mungkin malam ini aku akan pulang lebih awal…”
Saya masih ingat, salah satu adik kelas berbisik lirih sambil menahan gemetar, “Kak… saya lihat ada yang berdiri di belakang nisan itu.”
Saya tersenyum. Dan berkata dalam hati, “Selamat datang di jurit malam, Dik.”
Saat Bayangan Mulai Bermain
Tugas renungan selesai, giliran para tamu ambalan menyusuri pos demi pos di dalam makam. Dan seperti yang kami prediksi… ada beberapa anggota baru yang mulai goyah.
Jeritan pertama terdengar dari sisi utara area makam.
“AAAAAAA!!!”
Kami para senior sudah siap dan sigap. Satu peserta terlihat seperti kesurupan. Tubuhnya kejang, mata terbuka lebar, dan bibirnya komat-kamit dengan suara berat. Para senior langsung turun tangan. Suasana makin hening. Lilin banyak yang mulai padam tertiup angin. Dan sebagian menjadi gelap gulita tanpa penerangan.
“Saya… marah… kalian ganggu… rumah kami,” suara dari peserta yang kesurupan. Membuat semua yang hadir terdiam ketakutan.
Saya yang mendampingi hanya bisa berdoa dalam hati. Karena meski ini kegiatan “latihan mental”, tapi kami tahu… kadang yang datang bukan cuma rasa takut, tapi juga penghuni lama yang tidak mau diganggu.
Alhamdulillah peserta yang kesurupan bisa sadar sebelum kami lanjutkan perjalanan ke sekolah.
Kembali ke Sekolah, Diiringi Suara Tak Kasat Mata
Tepat jam 12 malam, setelah semua kelompok melewati pos, kami mulai jalan kaki kembali ke sekolah. Jalurnya? Lewat jalan raya sepi dari Prapatan ke SMAN 1 Balikpapan. Semuanya berjalan dalam sepi dan sebagian peserta masih syok.
Seorang peserta perempuan sempat menangis sambil berjalan.
“Kenapa kamu nangis, dik?”, tanya salah seorang rekan senior.
“Iya Kak… tadi saya dengar ada yang jalan di samping saya… tapi nggak ada siapa-siapa…”
Dari belakang saya menyaut, “Fokus jalan, Dik. Jangan tolah toleh ke belakang. Jangan juga hiraukan suara dan bayangan aneh. Apa pun yang kamu rasakan, itu bukan urusanmu malam ini.” Dengan gaya songongnya seorang senior. Hehehe…
Tradisi Uji Mental di Sekolah
Begitu sampai di sekolah, mereka kira sudah bebas. Tapi belum. Kami para senior sudah siapkan satu tradisi terakhir. Uji kepercayaan dan kejujuran. Mereka harus masuk ke sekolah dengan kondisi gelap gulita. Iya… lampu sekolah memang sengaja kami matikan.
Kami telah buat beberapa titik pos untuk menyelesaikan jawaban dari tantangan yang ada. Tantangannya menjawab pertanyaan reflektif tentang nilai-nilai kepramukaan dan kehidupan.
Meski terlihat lelah dan masih sisa takut, mereka semua berhasil menyelesaikannya dengan baik. Dan yang menarik, justru setelah semua selesai… mereka malah tertawa dan bangga.
“Kak… serem banget sih… tapi seru juga,” kata Yuni salah satu anggota baru sambil nyengir.
“Iya Kak, besok kalau kami yang jadi senior… boleh ya bikin acara begini juga?”
Saya hanya menjawab, “Boleh. Tapi ingat… jangan kelewat batas. Karena jurit malam bukan cuma latihan, tapi juga pelajaran untuk mengenal diri, membangun mental baja… dan menghormati mereka yang tak kasat mata.”
Dan seingat saya, setelah itu ada surat edaran dari Kwartir Nasional untuk menghentikan semua kegiatan berbau jurit malam dan sejenisnya.
Antara Ujian Mental dan Dunia Tak Terlihat
Kisah seram jurit malam ini adalah salah satu cerita yang selalu saya kenang. Bukan cuma karena berhasil menakut-nakuti adik kelas, tapi karena malam itu… saya juga sempat mendengar suara di telinga saya sendiri, padahal tak ada siapa-siapa.
“Terima kasih… sudah mengingatkan mereka…”
Suara itu pelan. Tapi cukup membuat saya diam. Mungkin itu ucapan terima kasih dari penghuni lama, karena kami tak melewati batas. Hanya memperkenalkan adik-adik pada keberanian, dan mental baja. Bukan menantang yang gaib.
Dan malam itu, saya belajar, bahwa uji mental terbaik bukan saat kamu berteriak… tapi saat kamu diam di antara lilin, tanah merah, dan bayangan yang menyapa dari ujung mata.
Malam ini memang melelahkan. Bukan hanya bagi adik-adik anggota baru, tapi bagi kami yang selalu siap siaga menjaga adik-adik kami dari segala marabahaya.
“Teng… teng… teng…”, suara lonceng sekolah berbunyi 3 kali menandakan sudah jam 3 pagi.
Dan kami tersadar, bahwa lonceng itu berbunyi sendiri. Tidak ada satu orangpun yang berada di dekat lonceng dan yang membunyikannya. Entah itu siapa… sampai sekarang kami menyebutnya “lonceng berhantu”.
Salam pramuka dan salam hormat serta permohonan maaf buat semua para junior yang pernah duduk diam di antara dua kuburan. Dan maafkan kami para senior yang telah menguji mentalmu.
Bambang Herlandi
Bloger Balikpapan
www.bambangherlandi.web.id