“Kalau anak-anak kita tidak diajari bahasa mesin hari ini, bagaimana mereka bisa bicara dengan masa depan?” Begitu sih pemikiran saya. Mungkin kalimat itu sederhana, tapi terkadang juga termentahkan oleh pemikiran yang menyatakan “anak sekolah tidak boleh diajari AI, nanti dia bisa menjawab semua soal yang dibuat gurunya”. Lah… terus kenapa kalau murid-murid kita bisa menjawab semua, bukannya bagus ya? AI saat ini sama halnya seperti dulu Google dan mesin-mesin pencari yang dimanfaatkan orang untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan. Bahkan gurunya juga mungkin membuat soal ujian dengan memanfaatkan mesin pencari dan generatif AI. Terus kenapa siswanya disalahkan kalau menjawab pertanyaan menggunakan AI??? Menurut saya, inilah salah pengertian tentang pemanfaatan AI dalam pembelajaran. Maka terkadang saya berpikir pembelajaran koding dan kecerdasan artiisial bisa menjadi dilema, antara harapan dan kenyataan di tengah perkembangan zaman dan teknologi yang tidak bisa terhindarkan. Dan mampukah kita benar-benar menerapkan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial di sekolah kita hari ini?
Mengapa Kita Perlu Membicarakan Ini?
Koding dan kecerdasan artifisial (AI) bukan lagi milik ruang riset dan kampus elit. Mereka sudah menyusup ke gawai anak-anak, memengaruhi pilihan belanja ibu-ibu, hingga menata lalu lintas kota besar. Di satu sisi, dunia melaju cepat, anak-anak usia 10 tahun di India sudah belajar Python, siswa SMA di Finlandia diajak menganalisis algoritma AI.
Sementara di sisi lain, di salah satu SD di pelosok Indonesia, murid-murid masih berebut sinyal untuk mengirim tugas lewat WhatsApp. Laptop hanya dimiliki satu, dan itu pun milik kepala sekolah.
Dan di sinilah letak dilema besar kita: pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial adalah kebutuhan masa depan, tapi kenyataannya, hari ini pun kita belum siap sepenuhnya.
Antara Idealisme Kurikulum dan Realitas Lapangan
Secara kebijakan, arah pendidikan kita sudah mulai condong ke integrasi teknologi. Beberapa SMA dan SMK bahkan SMP sudah mengenal dasar-dasar AI dalam bentuk proyek sederhana. Guru-guru di kota mulai diperkenalkan pada kurikulum coding visual seperti Scratch, Minecraft atau Python dasar.
Namun, realita di lapangan sering kali jauh dari teori. Banyak sekolah bahkan belum punya fasilitas komputer layak. Sinyal internet? Jangan ditanya. Ada yang harus jalan 3 kilometer ke bukit hanya untuk dapat jaringan 4G.
Saya jadi teringat salah satu peserta Puncak Hari Guru Nasional 2023 yang sempat berbicara langsung dengan Presiden Jokowi, bercerita bagaimana beliau dan guru-guru di daerahnya berjuang hanya untuk mendapatkan sinyal dalam rangka mengikuti Program Guru Penggerak.
Maka, bicara soal pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial sering kali terdengar seperti mimpi yang belum selesai didefinisikan.
Dilema Pertama: Siapkah SDM-nya?
Guru adalah ujung tombak. Tapi kenyataannya, banyak guru belum pernah sekalipun menyentuh dunia pemrograman, apalagi AI. Bukan karena tak mau, tapi karena memang belum sempat. Kurikulum yang padat, pelatihan yang minim, dan beban administrasi sering menelan energi untuk berinovasi.
“Saya guru IPA. Tiba-tiba disuruh ajar coding. Saya sendiri belum ngerti algoritma itu apa,” mungkin itu yang ada di benak guru yang mata pelajaran normatif dan adaptif yang tidak pernah mengenal koding.
Masalahnya, pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial tak bisa diajarkan hanya lewat buku teks. Ia butuh praktik, eksplorasi, dan mentor yang paham seluk-beluk logika komputer.
Dilema Kedua: Infrastruktur dan Ketimpangan Digital
Indonesia itu luas. Dari Sabang sampai Merauke, dari perkotaan hingga daerah perbatasan, perbedaan akses dan infrastruktur sangat mencolok.
Di kota besar, sekolah-sekolah negeri dan swasta sudah punya laboratorium komputer, internet cepat, dan bahkan kurikulum khusus AI. Sementara di banyak daerah lain, listrik pun kadang hanya menyala malam hari.
Ini membuat penerapan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial menjadi tantangan besar. Tanpa koneksi internet stabil dan perangkat memadai, pelatihan digital hanya jadi formalitas. Padahal, potensi anak-anak di pelosok sama besarnya dengan yang di kota.
Dilema Ketiga: Ketimpangan Akses terhadap Konten Lokal
Sebagian besar materi coding dan AI saat ini masih dalam bahasa Inggris, menggunakan pendekatan global yang belum tentu sesuai dengan konteks lokal Indonesia.
Misalnya, ketika murid-murid diajarkan AI untuk mengenali gambar, mereka malah disodori dataset wajah orang Eropa. Bukankah lebih baik mereka diajarkan untuk mengenali jenis ikan lokal, pola panen padi, atau bahasa daerah?
Tanpa adaptasi konteks, pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial hanya akan melahirkan keterasingan di ruang kelas.
Tapi, Haruskah Kita Menyerah?
Tentu tidak. Justru karena banyaknya tantangan, kita harus lebih cerdas mencari jalan tengah. Bangsa Indonesia itu terkenal kreatif (tapi kalau sedang terpaksa).
Koding tak harus dimulai dari komputer mahal. Di SD, bisa dimulai dari koding unplugged: permainan logika, menyusun algoritma langkah kaki, atau cerita berurutan. Di SMP, bisa pakai HP seadanya, dengan aplikasi seperti Scratch yang ringan. Di SMA dan SMK, kita bisa mulai proyek mini berbasis lokal: sistem antrean puskesmas, chatbot sederhana untuk layanan desa, atau sistem klasifikasi hasil panen.
Kecerdasan artifisial bisa dikenalkan lewat simulasi manual: mengenali pola, membuat klasifikasi, dan belajar berpikir seperti mesin. Murid-murid bisa paham logika AI tanpa harus langsung menyentuh neural network.
Solusi Sederhana yang Bisa Dimulai Hari Ini
- Pelatihan Guru Berbasis Konteks
Mulailah dari pelatihan dasar untuk guru dengan pendekatan lokal dan alat sederhana. Modul bisa dibuat dalam bentuk cetak, video pendek, atau aplikasi ringan yang bisa offline. - Kolaborasi Komunitas dan Dunia Usaha
Komunitas penggiat IT bisa diajak untuk memberi pelatihan sukarela. Dunia usaha bisa menyumbang perangkat bekas layak pakai. Perpustakaan desa bisa dialihfungsikan menjadi pusat pembelajaran digital. - Kurangi Ketergantungan pada Internet
Buat modul dan latihan offline. Gunakan kartu, papan tulis, atau alat bantu sederhana yang tetap memuat konsep koding dan AI. - Libatkan Anak Sebagai Agen Literasi Digital
Banyak siswa justru lebih cepat belajar dari YouTube atau media sosial. Ajak mereka jadi mentor bagi teman sekelas, bahkan bagi gurunya. - Buat Proyek Berbasis Masalah Nyata
Ajak siswa memecahkan persoalan lokal dengan logika digital. Dari sinilah semangat belajar itu akan tumbuh: saat mereka merasa teknologi bisa menyentuh hidupnya.
Penutup: Di Antara Asa dan Nyata
Kita tahu, menerapkan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial di Indonesia bukan perkara mudah. Tapi bukan berarti tak mungkin. Yang kita perlukan adalah pendekatan yang manusiawi, relevan, dan bertahap.
Anak-anak Indonesia punya hak untuk mengenal bahasa masa depan, dan guru-gurunya punya semangat untuk belajar, asal diberi ruang dan waktu (yang malas belajar dan benar-benar sudah tidak bisa ditolong, diminta pensiun dini aja).
Jika kita bisa menjembatani kesenjangan ini, bukan mustahil dari pelosok negeri ini lahir inovator-inovator masa depan yang tak kalah hebat dari Silicon Valley. Karena sejatinya, kecerdasan buatan akan sangat berarti jika digunakan oleh manusia yang masih punya nurani.
Dan mungkin, semua itu dimulai dari satu langkah kecil di ruang kelas sederhana. Dengan satu pertanyaan sederhana pula: “Apa kamu siap belajar seperti robot hari ini?”
Semoga tulisan Dilema Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Indonesia: Di Antara Harapan dan Kenyataan ini bisa membawa pencerahan bagi kita semua, terutama rekan-rekan guru untuk tetap harus dan mau belajar. Karena kita harus menjadi fasilitator yang dapat memahami dunia murid yang saat ini sangat berbeda dengan zaman saat kita menjadi murid. “Jadilah guru pembelajar sepanjang hayat. Karena walaupun besok kita pensiun, hari ini kita tetap harus mengajar di kelas.”
Salam sehat dan bahagia buat semua rekan guru hebat di seluruh Indonesia.
Terima kasih sudah berkenan mampir dan membaca tulisan ini.
Semoga bermanfaat.
Bambang Herlandi
Guru SMKN 2 Balikpapan
Duta Teknologi Kemdikdasmen